Sabtu, 21 Januari 2012

Ketegaran Hati - Pt. 1

hai. mau post nih cerita yang gue ikutin ke lomba yang diadain SMA pangsud, tapi karna gue bikinnya H-1 dari batas pengumpulan, ceritanya ga gitu bagus. tapi yaa baca aja oke;)


Ariana menatap bayangannya di cermin. Helaan nafas keluar dari mulutnya. Matanya menerawang melihat ‘dirinya’ di cermin berbingkai coklat yang sudah berdebu itu. Menatap seorang gadis berumur tiga belas tahun dengan sebelah mata. Menatap gadis bertangan sebelah. Tangan kanannya membelai pipinya. Sebelah matanya menelusuri, mulai ujung rambut, sampai pinggangnya. Rambut yang cukup panjang dikuncir, mata bulatnya yang hanya berfungsi sebelah, hidungnya yang cukup mancung dan bibir mungilnya. Tubuhnya kurus, kulitnya kuning langsat. Tangan kanannya mencengkeram kuat, seolah meratapi dirinya tanpa pasangannya, tangan kiri.
            Padahal jika saja mata dan tangannya itu tidak cacat, pastilah ia tumbuh menjadi gadis cantik. Tanpa sadar air mata keluar dari matanya. Ia mencoba tersenyum, dan di dalam hatinya ia berkata, ‘inilah aku. Dengan segala kekuranganku, juga kelebihanku. Aku harus terima. Ini ujian dari Allah dan Insya Allah inilah yang terbaik’. Kalimat itu berulang kali diucapkan di hatinya.
“Ariana...” ibunya memanggil Ariana yang terburu-buru menyeka air matanya.
“ya bu?” Ariana segera menghampiri sang ibu sambil menggendong tas biru mudanya yang sudah lusuh. Kaki kurusnya menyusuri lantai yang sudah retak dan sesekali meringis saat mendapati kakinya menginjak batu yang menambal retakan lantai.
“sana kamu cepat berangkat sekolah, nanti ketinggalan pelajaran loh,” ibunya membelai lembut rambut dikuncir itu. Ariana tersenyum dan  mengambil tangan ibunya, “iya, aku berangkat ya bu,” pamitnya sembari mencium tangan ibunya. Setelah memakai sepatu hitam yang didapatinya di sebuah pasar loak, ia mengucapkan salam.
“hati-hati di jalan nak!” seru ibunya sambil menatap punggung anaknya yang berlari kecil menjauh itu.
***
Ariana melangkahkan kakinya masuk ke sebuah sekolah berkelas menengah. Kalau saja Ariana tidak mendapat beasiswa, ia pasti tak bisa bersekolah disini. Ia pasti ada di sebuah sekolah yang atapnyasudah hampir roboh layaknya bangunan  tua di dekat rumahnya. Alhamdulillah Allah memberinya bantuan.
Ia melanjutkan langkah kakinya ke kelas yang berada di pojok gedung lantai satu, 8-2.
“Hei hei lihat! Siapa yang datang!” seru Mischelle, salah seorang siswi cukup eksis yang melihat kedatangan Ariana.
“Waah, hai Arianaa! Kamu bisa lihat kami kan? Disini disini! Bisa lihat kan? Tentunya... dengan sebelah matamu! Kyahaha!” Prisca, teman Mischelle, menimpali. Mereka berdua tertawa keras bersama. Ariana tersenyum kecil mendengarnya, lalu bergegas menuju tempat duduknya. Yah, ia memang sudah terbiasa diperlakukan seperti ini. Apalagi oleh anak-anak eksis seperti mereka berdua.
Tempat duduk Ariana berada agak ke depan. Sementara Sephia, teman sebangku Ariana sudah berada di bangkunya sendiri dan tersenyum melihat kedatangan Ariana. Ariana membalas senyum Sephia dan segera duduk. Seperti belum puas mengejek Ariana, Mischelle dan Prisca mengampiri tempat duduk Ariana dan Sephia dan mulai membuka mulutnya.
“Hmm Sephia, nanti kalo Ariana ga keliatan papan tulis, bilang ke gurunya ya! suruh aja duduk di paling depan, kan kasian, dia cuma bisa melihat dengan sebelah mata!” ujar Mischelle  pada Sephia lalu melirik ke arah Ariana. Sephia diam tak menjawab, ia hanya menunduk. Sama halnya yang dilakukan Ariana. “Eh eh Mischelle, jangan deket-deket deh yuk! Nanti kita dipukul sama tangannya yang cuma sebelah lagi!” Prisca menggaet tangan Mischelle dan mengajaknya menjauhi tempat duduk Ariana. Mereka berdua tertawa terbahak-bahak sambil menjauhi Ariana yang sama sekali tidak merespon kelakuan mereka.
“Ariana,” Sephia mencolek Ariana yang segera menoleh. “Yang sabar ya,” lanjutnya sambil mengelus punggung gadis di sebelahnya yang kemudian tersenyum manis dan mengangguk itu.
Tangan kanannya mengelus mata kirinya yang buta itu. Mata cacat yang didapatnya sedari lahir. Kemudian tangannya itu berganti menelusuri lengan kirinya yang tinggal setengah. Sebuah cacat yang disebabkan oleh kecelakaan saat dirinya tengah latihan karate saat SD. Saat ekonominya belum terlalu buruk.
***
“Ayo ayo! Latihan yang gigih! Ujian tinggal beberapa hari lagi!” seorang pria besar berjalan bolak-balik di depan murid-muridnya yang latihan bersimbah keringat itu sambil menepuk-nepuk tangannya. “Hei kamu! Lebih tinggi tendangnya!” protesnya.
BAG! BUG! Ruangan itu dipenuhi suara kaki yang menendang sebuah bantalan yang dipegang oleh seorang murid. Sinpei Rio, guru karate berbadan besar itu terus berbolak-balik memperhatikan murid-murid berlatih sambil terkadang memprotesnya dan sesekali memberikan contoh.
“Hoy hoy! Cewe! Yang dikuncir!” Sinpei Rio menunjuk perempuan yang dikuncir itu, Ariana. “Lebih kuat tendangnya!” protesnya. Ariana mengikuti perintah gurunya. Padahal ia sudah bermandikan keringat akibat sudah lama latihan. Alhasil ia tidak bisa begitu kuat lagi. “Duuh! Kalau begini gimana mau lulus ujian?! Ck begini, lihat!” Sinpei Rio mencontohkan dan menghasilkan bunyi BUG! Yang kencang. Ariana masih tetap ngos-ngosan. Karna sudah sangat berkeringat, saat ia menendang kaki-nya terpeleset dan ia terjatuh. Untuk menahan badannya Ariana menggunakan tangan kirinya. Karna tak siap, tulangnya patah dan ia segera dilarikan ke UGD.
***

please wait for part 2;) well, even i've been finished it. but i dont write it in one post, i'm afraid you got tired and lazy to read it again xoxo

100% aseli no copy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar